Pernikahan adalah sesuatu yang dianggap sakral, dengan itu dalam suatu daerah memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda dalam melangsungkan pesta pernikahan. Bagi sebagian daerah, pesta pernikahan mewah bukan tuntutan wajib. Namun ada juga yang menganggap bahwa pernikahan hanya sekali seumur hidup sehingga harus dibuat meriah dan semewah mungkin.
"Menikah hanya sekali seumur hidup, tidak ada salahnya jika mengadakan pesta mewah. Kapan lagi membuat anak bahagia", begitulah ungkapan beberapa orang ketika memberi pendapat tentang pesta pernikahan yang mewah.
Sebagian orang memang punya alasan seperti itu, tidak akan jadi masalah jika dari segi finansial memang punya simpanan cukup untuk menggelar pesta pernikahan yang mewah. Tapi jika harus memaksakan diri dan menginginkan pesta pernikahan yang diluar batas kemampuan, tentu saja tidak baik jika tetap dilakukan.
Apalagi alasan yang dijadikan untuk menggelar pesta, hanya karena malu sama tetangga, malu sama calon besan, atau sekedar tidak ingin kalah saing dari tetangga yang belum lama menggelar acara pernikahan.
Ujung-ujungnya hutang, hutang diperdalam tanpa memikirkan kemampuan sendiri. Strategi yang digunakan mencetak undangan sebanyak mungkin hingga orang-orang yang baru dikenal pun berada dalam daftar penerima undangan. Bukan tujuan untuk bersenang-senang, tapi justru mirip seperti ajang bisnis untuk mendapat keuntungan atau minimal hutang untuk pesta pernikahan bisa terbayar dari sumbangan para tamu undangan.
Tapi kebanyakan seperti yang baru-baru terjadi, kenyataan tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Hitung-hitungan keuangan tetap saja mengalami kerugian. Bukan lagi ingin membahagiakan anak, justru membuat anak menderita. Karena baik secara langsung atau tidak, anak ikut menanggung penderitaan karena hutang yang ditanggung. Alih-alih membuat anak bahagia, justru merasakan beban pikiran hingga finansial.
Berbeda dengan tetangga penulis yang beberapa tahun lalu melaksanakan pernikahan secara sederhana, yang penting sah menurut agama dan negara. Ada rencana untuk menggelar pesta pernikahan tapi akhirnya batal. Anggaran orang tua yang sudah terkumpul, justru digunakan untuk modal kehidupan anaknya kedepan setelah menikah. Dua pilihan antara membuat rumah atau modal usaha, sepertinya keputusan itu lebih bijak daripada menggunakan anggaran hanya untuk pesta dan gebyar sesaat.
Padahal banyak juga yang memaksakan diri, akhirnya harus menanggung rugi. Harus menjual aset pribadi hingga terjerat hutang yang sulit untuk dilunasi. Maka pada akhirnya, lebih baik pesta itu khusus bagi yang punya uang lebih. Jika keuangan pas-pasan lebih baik sesuai kemampuan. Daripada senang sesaat tapi memberikan dampak penderitaan yang berkepanjangan. Karena pernikahan bukan sekedar tentang pesta yang besar, tapi tentang kehidupan kedepan yang banyak tantangan. Jangan sampai demi gengsi berujung pada penderitaan hutang yang berkepanjangan.