Ada seseorang yang mengambil dompet milik korban kecelakaan karena khawatir dompet itu hilang atau diambil orang lain yang tidak bertanggung jawab. Setelah mengambil kemudian memasukkan ke kantong saku, lalu melakukan pertolongan kepada korban kecelakaan. Ketika ada yang bertanya kenapa dia mengambil dompet tersebut, alasannya untuk mengamankan dompet tersebut dari tangan jahil. Dia mengatakan alasan yang sebenarnya.
Pada kejadian yang hampir sama, seseorang punya niat mencuri dompet milik korban kecelakaan. Setelah mengambil kemudian memasukkan ke kantong saku, lalu melakukan pertolongan kepada korban kecelakaan. Ketika ada yang bertanya kenapa dia mengambil dompet tersebut, alasannya mengamankan dari tangan jahil. Dia mengatakan alasan yang tidak sebenarnya, mengamankan hanya alibi agar dia tidak dituduh punya niat buruk ketika mengambil dompet korban kecelakaan.
Tindakan yang dilakukan sama, alasan yang diungkapkan juga sama. Pada awal kejadian keduanya tidak ada perbedaan sama sekali. Tapi yang kemudian membedakan adalah tindakan selanjutnya. Orang yang memang punya niat mengamankan pasti akhirnya berusaha memberikan kepada pemilik atau pihak terpercaya. Sedangkan yang punya niat mencuri berusaha melakukan hal yang sudah menjadi niatnya sejak awal.
Sama halnya ketika seorang suami punya niat untuk poligami. Memang ada yang punya niat untuk ibadah, tentunya karena memang ada kemampuan dan memiliki sikap adil. Dalam masalah ilmu dan pengetahuan tentang poligami juga mumpuni. Alasan poligami pun memang dari hati yang terdalam karena niat ibadah. Melihat kondisi dalam keluarga pun sudah benar-benar terarah. Istri dan anak sudah benar-benar bisa menjalankan kehidupan dengan baik untuk tujuan dunia ataupun akhirat. Tentunya niat poligami dengan ilmu dan kesiapan yang cukup.
Ketika mengungkapkan niat itu kepada istri pertama, tentu saja alasannya karena niat ibadah. Tapi bagaimana jadinya jika seorang suami hanya merasa mampu dan merasa adil padahal pada kenyataannya tidak demikian. Hanya nekad tanpa ilmu dan persiapan yang mumpuni jadinya bukan mengikuti sunnah, bukan membangun tapi malah merusak. Merusak masa depan keluarga secara keseluruhan.
Untuk orang seperti ini, kebanyakan hanya menjadikan poligami untuk menuruti nafsu syahwat. Ibadah hanya dijadikan alibi untuk mendapatkan pembenaran atas apa yang dilakukan.
Dari kaca mata awam saja sudah bisa terlihat tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa ibadah hanya dijadikan alibi saja. Tentunya dengan melihat kehidupan seorang pria dari pernikahan sebelumnya.
Bagaimana tentang kualitas ibadah wajib dari orang tersebut, apakah sudah benar atau belum. Juga dengan melihat kehidupan rumah tangga, peran sebagai suami sekaligus ayah terhadap istri dan anaknya. Jika kita melihat kualitas ibadah saja masih meragukan, istri dan anak belum memiliki kehidupan yang terarah, apakah pantas menggunakan alasan ibadah ketika punya niat poligami?.
Bukan cuma itu, keinginan poligami kebanyakan didominasi oleh pria yang belum mapan secara finansial, meskipun ada juga "orang besar" yang punya keinginan serupa. Poligami identik dengan bertambahnya tanggung jawab dunia maupun akhirat bagi seorang suami. Ada kewajiban untuk memberi nafkah kepada dua istri beserta anak-anaknya, kewajiban membimbing agama dua istri beserta anak-anaknya, dan di akhirat akan dihisab atas urusan mereka semuanya.
Memang kondisi finansial bukan penentu utama. Tapi dengan melihat logika awam saja, jika untuk satu istri saja berantakan, maka menikah lagi sama dengan mendzolimi istri.
Poligami memang diperbolehkan, selama syarat-syaratnya terpenuhi. Tapi banyak sekali pria yang tidak memenuhi syarat, memaksakan pemahaman orang lain seolah dirinya pantas untuk melakukan. Hingga akhirnya banyak yang bisa menilai bahwa niat poligami kebanyakan bukan karena ibadah. Masih banyak yang menggunakan ibadah sebagai alibi untuk memenuhi nafsu syahwat saja.