Tradisi perjodohan dalam lingkungan pesantren memang bukan hal yang baru lagi. Sudah banyak pasangan suami istri yang bermula dari perjodohan dalam lingkungan pesantren. Namun perjodohan itu, sifatnya semi pemaksaan. Perkawinan hanya akan terjadi jika calon mempelai setuju atau menerima perjodohan itu. Bukan pemaksaan secara mutlak yang seolah-olah harus menerima perjodohan tersebut.
Tapi bagi sebagian orang, karena alasan menghormati tidak punya keberanian untuk menolak. Sehingga meskipun ada perasaan memberontak, berusaha merubah cara berpikir untuk menerima perjodohan. Bagi sebagian masyarakat awam, perjodohan memang identik dengan dampak kedepan yang tidak baik. Keluarga tidak harmonis, tidak bertahan lama, dan masalah dalam rumah tangga lain sebab pernikahan terjadi karena pemaksaan.
Tapi pada kenyataannya, kebanyakan perjodohan dalam lingkungan pesantren tetap menciptakan keluarga yang harmonis. Menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Meskipun begitu, tetap saja ada yang memberikan penolakan. Tentunya itu bukan sebuah masalah karena memang pihak yang dijodohkan punya hak untuk menolaknya.
Kembali lagi kepada masalah rasa hormat, merasa ingin tetap memberikan penghormatan tertinggi kepada ustad tapi dilain sisi tidak ingin perjodohan terjadi. Hingga kadang bingung cara menolak tanpa mengurangi rasa hormat tersebut. Sebab ustad merupakan orang paling berharga dan paling dihormati bagi mereka.
Hal itu juga dialami oleh MM, salah seorang santriwati yang menolak perjodohan. Ketika MM mengalami perjodohan dalam lingkungan pesantren, MM tidak seketika menolak atau menerimanya. Ketika hal itu sudah disampaikan, dengan tetap santun MM menyatakan tidak bisa memutuskan untuk langsung menerimanya.
MM minta waktu untuk sama-sama saling mengenal lebih dulu. Berusaha untuk menumbuhkan rasa dan membuat diri sendiri lebih mantap. Jika memang jodoh tentunya akan diberikan jalan untuk bersatu, tapi jika tidak jodoh setidaknya tetap memiliki "hubungan" yang baik. Tanpa harus bermusuhan atau saling membenci.
Dalam proses tersebut, secara perlahan kekuatan perjodohan itu akan memudar dengan sendirinya. Sehingga ketika waktunya tepat, keputusan terhadap penolakan pun cukup diketahui oleh pria yang dijodohkan dengan MM. Tanpa harus diketahui oleh orang lain pun perjodohan akan berakhir dengan sendirinya. Bahkan pihak yang sebelumnya terlibat, tentu akan bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Jadi cara yang digunakan MM dalam menolak perjodohan adalah dengan melakukan penundaan. Kesimpulannya, membuat pihak yang ingin perjodohan itu berhasil melihat bahwa harapannya semakin tipis. Sehingga ketika waktunya pas, tanpa atau dengan pernyataan pun bisa memahami bahwa sebenarnya MM tidak menginginkan perjodohan tersebut.