Kita tentu sering melihat, ketika istri selingkuh banyak yang berakhir dengan perceraian, sedangkan ketika suami selingkuh cenderung berakhir dengan perdamaian. Sampai disini apakah bisa dikatakan bahwa perselingkuhan pria merupakan sesuatu yang wajar?, tentu saja jawabannya tidak.
Baik pria atau wanita ketika mendapati pasangannya selingkuh, sebenarnya sama-sama merasakan kekecewaan yang mendalam. Merasa sakit hati dan sulit menerima kenyataan itu, keduanya merasa perlu untuk memberikan hukuman, keduanya sama-sama jijik dan kecewa dengan pasangannya.
Yang membedakan adalah tindakan dari masing-masing pihak ketika menjadi pelaku perselingkuhan. Ketika pria ketahuan selingkuh, cenderung tidak ingin disalahkan, membela diri, bahkan menyalahkan balik istrinya. Minimal pria akan berusaha untuk memperbaiki hubungan agar tidak terjadi perceraian.
Pria dengan segala upaya berusaha menunjukkan penyesalan dengan berbagai alasan, demi anak-anak (padahal kepedulian dengan anak hanya sekian persen saja, selebihnya demi kesenangan diri sendiri), demi masa tua, bahkan demi kesan baik di mata keluarga besar, tetangga, bahkan teman. Tidak sedikit juga pria yang membela diri dengan menggiring opini bahwa perselingkuhan adalah kenakalan yang wajar.
Sebisa mungkin berusaha bahkan menuntut agar tidak ditinggalkan. Meskipun pada kenyataan setelah berhasil "berdamai" dengan istrinya, pria justru merasa aman dan mengulangi perbuatannya. Dan setelah itu, pria berusaha lebih hati-hati dan jika sampai ketahuan akan menggunakan strategi yang sama.
Pria juga sering memberikan nilai lebih untuk meyakinkan istri agar tidak ditinggalkan, misalnya dengan materi atau sikap yang lebih baik sebagai upaya penebusan dosa. Dalam posisi itu, wanita tentu lebih mudah luluh, memaafkan, meskipun tetap tidak bisa melupakan perselingkuhan tersebut.
Tapi jika dibalik, ketika istri yang selingkuh, maka pria tidak bisa menerima sama sekali pembelaan istrinya. Banyak cara dilakukan pria untuk melakukan tindakan intimidasi kepada istrinya, salah satunya dengan kekerasan fisik. Tidak selesai sampai disitu, pria juga tidak bisa menerima alasan apapun jika mendapati istri selingkuh.
Mulai keluar ungkapan, istri tidak tahu diri, istri murahan, istri gatel, dan lain sebagainya. Ketika sampai pada posisi ini, suami benar-benar memandang rendah istri yang sudah selingkuh darinya. Tidak lagi peduli dengan posisi anak, apalagi kesan orang lain terhadap masalah itu. Justru para pria merasa malu jika terus mempertahankan istri yang sudah selingkuh darinya.
Kalaupun akhirnya bisa "berdamai" dengan proses tertentu bahkan melalui perjanjian, apakah suami bisa memaafkan?. Tentu saja tidak sama sekali, pria tetap memandang rendah istrinya. Tidak ada perasaan lega sebelum pria melakukan pembalasan terhadap perselingkuhan yang dilakukan istri sebelumnya.
Pria akan benar-benar merasa lega jika sudah melakukan perselingkuhan sebagai ajang pembalasan. Itupun tidak cukup hanya dengan sekali, pria merasa dia harus melakukan perselingkuhan lebih banyak untuk membuat pikirannya lega. Padahal bisa saja hal itu sama saja dengan menjerumuskan diri.
Pria bisa menjadi keterusan dan tidak bisa berhenti ketika melakukan ajang balas dendam tersebut, akhirnya malah jadi kebiasaan. Maka tidak heran, istri sekali selingkuh menjadi penyebab pria terus melakukan perselingkuhan. Tapi ketika suami yang selingkuh duluan, belum tentu menjadikan istri menjadi tukang selingkuh.
Sampai disini tentu bisa dipahami, alasan pria sulit memaafkan istri selingkuh tapi ketika dia sendiri selingkuh, menuntut untuk dimaafkan.