Negara kita sebenarnya sudah mendapat predikat Negara agraris, dimana banyak masyarakat yang memiliki profesi menjadi petani secara turun temurun. Tapi biasanya profesi petani bukan pilihan utama. Profesi ini hanya dijalani kalangan muda dalam keadaan terpaksa. Kebanyakan tidak mau untuk menjadi petani. Bahkan gambaran menjadi petani modern pun tidak terbayang. Angan-angan tentu saja memiliki profesi lain yang lebih menjanjikan. Kenapa bisa begitu, berikut alasannya.
7 Alasan Tidak Banyak Anak Muda Yang Mau Jadi Petani Modern
1. Rata-rata kepemilikan lahan pribadi sangat sempit
Rata-rata kepemilikan lahan pertanian tidak luas karena semua itu cenderung didapatkan dari hasil warisan. Yang tentu saja sudah dibagi dengan saudara yang lain. Sehingga profesi petani tidak begitu menjanjikan, karena lahan sempit memberikan hasil panen yang minim. Rata-rata petani di pedesaan memiliki taraf hidup yang jauh dari sejahtera. Kalaupun bisa mendapatkan lahan dengan sistem kontrak, biasanya lokasi tidak jadi satu sehingga kurang efisien untuk pengerjaan. Belum lagi lahan semakin lama semakin sempit karena bangunan, alih fungsi jadi kolam, bahkan jalan TOL Trans Jawa yang memiliki panjang 1.167 km tentu saja mengurangi lahan pertanian secara signifikan. Apalagi letak geografis beberapa daerah, tidak begitu cocok untuk alat-alat modern. Seperti lokasi yang berbukit, berada di lereng, dan sebagainya.
2. Sebagian besar, karena alasan perubahan warna kulit dimana warna putih cerah dianggap sebagai lambang kesuksesan dan ketampanan
Apalagi sudah menjadi Stereotipe di banyak daerah, warna kulit gelap dianggap sebagai pekerja kasar dengan penghasilan dibawah rata-rata. Sehingga warna kulit gelap dianggap sebagai simbol kemiskinan. Warna gelap juga dianggap dekil sehingga mempengaruhi cara pandang lawan jenis terkait ketampanan. Padahal untuk jadi petani, biasanya harus rela berpanas-panasan selama beberapa jam. Maka dari itu anak muda lebih suka kerja di tempat yang teduh dan tidak langsung terkena sinar matahari.
3. Teknologi pertanian yang harganya mahal
Apalagi harga alat pertanian modern juga sangat mahal. Traktor saja yang merupakan alat pertanian paling umum, harganya mencapai 10 juta. Bagi anak muda yang mau merintis jadi petani, untuk alat itu saja sudah terasa berat. Belum lagi peralatan modern lain yang harganya bisa mencapai puluhan juta. Jelas saja, itu tidak sebanding dengan hasilnya. Butuh berapa kali panen untuk balik modal?.
4. Hasil tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan
Hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan. Untuk waktu yang sama, jika digunakan untuk melakukan pekerjaan lain maka hasilnya akan lebih menjanjikan. Makanya banyak anak muda tidak mau jadi petani.
5. Masih banyak pekerjaan lain yang lebih 'enak'
Apalagi petani dianggap pekerjaan yang kasar. Sehingga pandangan anak muda akan lebih banyak mengarah ke pekerjaan yang ringan. Pulang pergi dengan jadwal yang pasti, dengan penampilan rapi dan memiliki banyak koneksi orang-orang dengan penampilan bersih.
6. Lambang kesuksesan dari cara pandang masyarakat umum, cenderung dilihat berdasarkan jabatan
Apalagi dari cara pandang umum, jabatan cenderung lebih dihormati dalam lingkungan masyarakat kita. Sehingga banyak anak-anak muda, bahkan orang tua yang lebih bangga anaknya jadi pegawai. Sehingga anak muda, merasa sia-sia jika jadi petani karena berpotensi dipandang sebelah mata.
7. Harga hasil panen yang cenderung anjlok, tidak sebanding dengan harga bibit dan pupuk yang mahal
Sudah menjadi tradisi sejak lama, ketika proses menanam harga bibit dan pupuk mahal. Hingga banyak petani harus rela kucing-kucingan untuk mendapatkan pupuk subsidi lebih banyak. Hal ini terjadi karena saat musim tanam tiba, banyak permintaan pupuk sehingga jadi mahal. Tapi saat musim panen tiba, banyak penawaran hasil panen yang membuat harga jatuh. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan secara menyeluruh, harus diserang dengan hasil panen impor. Tentu ini akan menyulitkan petani.
Kesimpulan
Pada intinya profesi petani itu bukan pekerjaan impian. Banyak anak muda yang cenderung menghindari pekerjaan ini. Kalaupun ada yang terjun, biasanya karena terpaksa tidak ada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Atau bisa juga karena kesulitan mencari pekerjaan sehingga bertani dijadikan pelarian. Atau hanya sekedar 'cari muka' untuk mendapatkan pendanaan dari orang tua.
Baca juga: Jaman Dulu Jembatan Bambu Bukan Hanya Untuk Penyeberangan, Ini 4 Fungsi Keseluruhannya